Selasa, 13 Maret 2018

Pengaruh pola asuh terhadap perilaku anak sekolah

Maret 13, 2018 1 Comments


Impacts of parenting on children’s schooling

Ediva Hong
Bachelor of Primary Education (second year), Faculty of Education, University of
Wollongong, Australia

Being the backbone of every child, ‘parenting style’ is an intricate aspect to
grasp despite the voluminous research that exists. Therefore, the purpose of
this paper is to synthesise the various research on theoretical findings, in
relation to Diana Baumrind’s parenting styles. It examines the different ways in
which parenting styles impact on children’s behaviour, which, in turn,
influences the predictive effects on their academic achievement. It aims to
bridge the gap between children’s home and school environments, bringing
together the key elements of children’s lives, in order to form a more-informed
approach toward their learning. Essentially, every parenting style impacts
differently on each child, however, common behavioural tendencies exist that
can be used to support areas that need attention.

Keywords: parenting styles; Diana Baumrind; behaviour; academic achievement; child development

Untuk melihat versi lengkapnya, silahkan klik Disini.

Tips Kapan waktu yang tepat memiliki Sosmed

Maret 13, 2018 0 Comments

Mulai Usia Berapa Anak Kecil Mulai Boleh Punya Sosmed?

Oleh Data medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.
Saat ini, siapa yang tidak punya media sosial? Hampir semua kalangan umur pasti punya setidaknya satu akun media sosial supaya tidak ketinggalan zaman. “Demam” medsos ini pun tak luput menjangkiti anak-anak. Di satu sisi, media sosial sangat membantu kita untuk mendapat informasi terbaru dan berinteraksi dengan dunia. Akan tetapi di sisi lain, banyak orangtua yang khawatir anaknya menelan mentah-mentah segala berita hoax yang wara-wiri di dunia maya, atau malah menyalahgunakan akun sosmednya untuk hal-hal yang keliru. Jadi sebenarnya, bolehkah anak punya medsos? Kalau ya, sebaiknya dibolehkan mulai usia berapa?

Kapan anak mulai boleh punya media sosial?

Sampai saat ini, tidak ada patokan umur yang pasti kapan anak boleh mengakses atau memiliki akun media sosialnya sendiri. Namun, ada beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan Anda ketika si kecil ingin mulai terlibat dalam rumitnya jejaring sosial.

1. Apakah anak sudah siap atau belum?

Sebelum memberikan akses untuk membuat akunnya sendiri, perhatikan dulu apakah si kecil memang sudah benar-benar siap dan bisa bertanggung jawab. Ironisnya, kebanyakan orangtua tidak memerhatikan kesiapan si kecil sebelum masuk ke dunia maya. Bahkan, sebuah survei yang dilakukan menyatakan bahwa banyak anak di bawah usia 13 tahun yang sudah punya setidaknya satu akun medsos.
Sebagian besar anak yang berusia sangat belia belum memiliki pola pikir matang. Mereka hanya mengetahui bahwa punya akun medsos itu akan membuatnya tampak keren, dan apa yang ditulisnya akan dilihat oleh orang banyak. Mereka belum memahami benar bahwa setiap tindak-tanduk manusia pasti ada konsekuensinya tersendiri, termasuk di dunia maya.
Misalnya, anak mengirimkan komentar merendahkan untuk seorang selebgram. Mereka belum menyadari benar bahwa apa yang ia lakukan merupakan tindak cyberbullying, yang dapat merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Atau skenario terburuknya, ia mengunggah foto pribadinya yang kurang pantas atas dorongan teman-teman onlinenya, atau karena meniru idolanya yang berpose seperti itu.
Memang susah untuk menyamaratakan atau membuat patokan usia minimal anak untuk bisa punya media sosial. Bisa saja anak Anda sudah lebih dari 13 tahun, tapi ia belum diberikan tanggung jawab untuk menggunakan media sosial. Anda sendirilah yang paling memahami karakter anak Anda, sehingga membolehkan anak ikut menjadi netizen adalah keputusan yang ada di tangan Anda.

2. Setiap media sosial punya batas usia untuk penggunanya

Perhatikan juga jenis media sosial yang akan digunakan si kecil. Pasalnya, masing-masing media sosial pasti memiliki kebijakannya sendiri dalam menentukan usia penggunanya. Rata-rata media sosial mengharuskan penggunanya berusia minimal 18 tahun untuk bisa membuat akun. Untuk media sosial seperti Facebook dan Twitter, seseorang sudah boleh membuka akun ketika berusia minimal 13 tahun.
Namun tentu saja Anda tetap harus mengawasi anak Anda saat menggunakan media sosialnya. Bahkan sebaiknya, Anda temani dirinya saat membuka akun. Akan lebih baik lagi jika Anda lebih dulu menelusuri serta menggunakan akun media sosial tersebut, untuk melihat apakah benar cocok digunakan si kecil.
smartphone anak

3. Buat aturan yang tegas

Media sosial tidak seburuk yang dibayangkan kebanyakan orangtua, kok! Ada berbagai manfaat yang bisa si kecil dapatkan ketika menjadi netizen aktif di dunia maya (asal bertanggung jawab). Misalnya saja, platform medsos seperti Instagram dan Youtube dapat membantu mengasah kreativitas anak dengan melihat ide-ide dari konten yang ada, atau sekadar berinteraksi dengan orang-orang di luar sana yang punya kesukaan yang sama.
Akan tetapi, jika penggunaannya tidak diperhatikan tentu akan lebih banyak menimbulkan dampak buruk. Maka itu, orangtua harus membuat aturan yang tegas ketika anak menggunakan media sosial, contohnya seperti:

Gunakan pengaturan privat

Buat akun media sosial si kecil aman dengan mengatur privasi pada akunnya. Biasanya, pada beberapa media sosial terdapat pengaturan khusus yang membuat akun media sosial secara otomatis tidak akan memunculkan konten dewasa atau kekerasan.

Bila perlu buat aturan jadwal penggunaan

Kadang anak suka lupa waktu ketika sudah masuk ke jejaring sosialnya. Hal ini bisa mengganggu waktu belajar dan waktu tidurnya. Bahkan, penggunaan sosial media yang berlebihan telah dikaitkan dengan perkembangan depresi, insomnia, dan antisosial. Karena itu, Anda harus tegas menerapkan jadwal penggunaannya. Batasi hanya 1,5 hingga dua jam sehari untuk anak bebas menggunakan media sosialnya. Batasan durasi aman ini sudah disetujui oleh banyak pakar ahli.

Ketahui semua teman dan apa yang ia lakukan di dunia maya

Dengan mengikuti akun media sosialnya, Anda akan lebih mudah memantau kegiatan si kecil saat ia menggunakan media sosial. Beritahu ia juga bahwa ia harus menghindari berteman dengan orang asing, sebaiknya menerima pertemanan dari teman, keluarga, dan kerabat yang dikenalnya saja.


Sumber:
https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/batas-usia-anak-punya-media-sosial/

Tips untuk Orangtua yang tinggal jauh dengan Anaknya

Maret 13, 2018 0 Comments

Harus LDR Dengan Anak? Catat 5 Tips Ini Agar Tetap Dekat Dengan Si Kecil!

Oleh Data medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.
Berada jauh dari buah hati alias long distance relationship (LDR)  dengan anak memang memberikan tantangan tersendiri. Baik itu karena Anda bekerja di luar kota, anak sedang merantau, Anda memang tidak tinggal bersama buah hati, atau karena alasan-alasan lainnya. Jangan khawatir, Anda tetap bisa memenuhi peran sebagai orangtua untuk mendidik anak dan menjaga ikatan meskipun harus LDR dengan anak melalui cara-cara berikut ini.

1. Membacakan cerita sebelum anak tidur

Bacakan anak cerita-cerita pendek favoritnya melalui telepon atau video call sebelum anak tidur. Hal ini bisa membuat interaksi anak dan Anda tetap terjalin dengan baik.
Mintalah bantuan pasangan Anda di rumah untuk menyambungkan anak lewat video call kira-kira satu jam sebelum anak tidur. Karena bercerita lewat video call, anak bisa melihat wajah Anda dan membuatnya terasa lebih dekat karena interaksinya terasa langsung. Hal ini bisa mengobati rindu karena sudah lama tak bertemu, sekaligus menjadi sarana stimulasi imajinasi dan empati si kecil.

2. Kirim surat, kartu ucapan, atau oleh-oleh

Mengirimkan surat, kartu berupa ucapan semangat, oleh-oleh sederhana seperti gantungan kunci atau camilan favoritnya bisa jadi solusi mendekatkan diri dengan anak. Jika anak Anda berada dalam usia sekolah dan hendak menghadapi masa ujian, Anda bisa menuliskan ucapan semangat dan memotivasinya lewat kartu yang unik. Dengan cara ini anak akan tetap merasakan dukungan dari Anda sebagai orangtua walaupun tidak berada di dekatnya secara langsung.

3. Meneleponnya di waktu yang berbeda

Jangan hanya menelepon di satu waktu, misalnya malam hari atau pada akhir pekan saja. Teleponlah di waktu yang berbeda agar anak merasa Anda mengingatnya di setiap waktu. Namun, pastikan Anda tidak menganggunya saat sekolah atau pada waktu anak makan.
Percakapan spontan dan santai perlu Anda lakukan. Jangan membicarakan hal yang itu-itu saja seperti menyuruh anak belajar, merapikan kamar tidur, dan membantu kakak atau adiknya. Ketika LDR dengan anak, Anda justru sebaiknya menghindari terlalu banyak mendikte anak.
Buat anak merasa Anda memperhatikannya dari jauh. Perbanyak obrolan soal hari-harinya, teman-teman anak, atau tokoh kartun favoritnya.

4. Cari tahu apa yang sedang anak gemari

LDR dengan anak bukan berarti Anda harus ketinggalan informasi soal si kecil. Cari tahu apa yang sedang menjadi perhatian anak saat ini, misalnya dengan bertanya pada pasangan di rumah atau pengasuhnya.
Ajak anak berdiskusi soal kegemarannya supaya anak merasa bahwa Anda tetap memberikan perhatian untuknya. Selain itu, hal ini juga akan membuat anak merasa Anda masuk ke dalam dunianya. Tak hanya itu, hal ini juga memungkinkan Anda untuk terus memantau minat dan bakat anak serta mengarahkannya menuju hal-hal yang positif.

5. Manfaatkan teknologi

Anda bisa menggunakan e-mail, surat pos, telepon, voice note, atau video call untuk berhubungan dengan anak Anda. Jika anak sudah dalam usia mengerti teknologi maka Anda bisa menggunakan surat elektronik atau e-mail,tetapi jika masih dalam usia balita Anda bisa menggunakan video call melalui bantuan pasangan Anda di rumah untuk menyambungkannya.
Memvariasikan bentuk panggilan selain melalui telepon akan membuat anak bersemangat setiap kali Anda menghubunginya. Hal yang terpenting, usahakan percakapan Anda dan anak tetap mengalir, berapa pun usia anak Anda.
Jangan jadikan jarak sebagai halangan untuk tetap berhubungan dan mendidik anak Anda. Beberapa cara di atas bisa Anda coba praktikkan untuk tetap memaksimalkan peran Anda sebagai orangtua meski jarak memisahkan.

Sumber:
https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/ldr-dengan-anak/

Tips Melindungi bahaya Cyberbullying

Maret 13, 2018 0 Comments

Melindungi Anak dari Bayang-Bayang Kejahatan Cyberbullying di Dunia Maya

Oleh Data medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.
Zaman sekarang, sepertinya jarang menemukan anak kecil dan remaja yang tidak punya handphone atau gadget nirkabel lainnya. Itu kenapa orangtua harus lebih menaruh perhatian dan waspada terhadap apa saja yang dilakukan oleh anak di dunia maya untuk melindunginya dari cyberbullying. Ya. Meski teknologi memang memudahkan manusia untuk belajar, mendapatkan informasi, dan berkomunikasi, tidak dapat dipungkiri bahwa ada segelintir oknum di luar sana yang menyalahgunakannya untuk berbuat jahat.

Apa itu cyberbullying?

Cyberbullying adalah segala bentuk tindak penindasan dan intimidasi yang dilakukan melalui internet atau teknologi digital lainnya. Cyberbullying umumnya berupa teror teks berisi komentar kasar, olokan, fitnah, penghinaan, pemerasan, hingga ancaman yang ditargetkan pada satu individu atau kelompok — baik secara langsung pada target bullying atau tidak langsung dengan cara menggiring opini orang lain.
Tindak penindasan di dunia maya juga bisa berbentuk foto, gambar, atau video yang ditujukan untuk mempermalukan dan mencoreng nama baik korban. Tidak jarang, konten intimidasi di dunia maya bisa menjurus hal-hal yang berbau seksual dan pornografi anak.
Motivasi pelaku cyberbullying beragam. Mungkin ada yang merasa tersinggung dan marah pada anak Anda sehingga ingin balas dendam, sekadar ingin mencari perhatian, atau bahkan ada pula yang hanya karena iseng mengisi waktu luang.

Cyberbullying adalah tindak penindasan yang sama berbahayanya dengan bullying di sekolah

Anda mungkin lebih familiar dengan tindak bullying di sekolah. Selain mungkin tindakannya yang memang lebih bisa jelas dilihat oleh mata, kasus bullying anak sekolah juga lebih sering diberitakan di media massa. Suka atau tidak, bullying bahkan masih menjadi norma budaya di banyak sekolah di Indonesia.
Namun tidak peduli di mana, bagaimana caranya, dan apapun media perantaranya, bullying adalah tindak kekerasan yang tidak boleh ditolerir. Begitu juga dengan bullying di dunia maya.
Efek cyberbullying adalah sama dengan efek bullying di dunia nyata. Bahkan mungkin bisa lebih parah. Bullying dapat membuat emosi anak jadi tidak stabil, merasa terisolasi, rentan depresi, merasakan sakit fisik, tidak konsentrasi belajar di sekolah, hingga memicu keinginan bunuh diri.

Ini yang harus dilakukan oleh orangtua untuk melindungi anak dari cyberbullying

Dilansir dari Kumparan, data UNICEF tahun 2016 menyebutkan bahwa hampir 50 persen remaja Indonesia usia 13-15 tahun pernah menjadi korban cyberbullying. Lakukan langkah demi langkah di bawah ini untuk mulai melindungi anak dari cyberbullying.

1. Ajak anak untuk berdiskusi tentang cyberbullying

Kebanyakan anak yang masih berusia sangat belia belum memiliki pola pikir matang. Mereka hanya mengetahui bahwa punya akun medsos itu akan membuatnya tampak keren, dan apa yang ditulis atau diunggahnya akan viral dilihat oleh orang banyak. Mereka belum cukup memahami bahwa setiap tindak-tanduk manusia pasti ada konsekuensinya tersendiri, termasuk di dunia maya.
Yang pertama kali harus Anda lakukan adalah membuat anak merasa aman dan nyaman untuk berbicara terbuka bersama Anda. Luangkan waktu untuk berdiskusi dengannya mengenai apa yang dimaksud dengan cyberbullying, apa saja dampaknya jika hal itu terjadi padanya, dan apa konsekuensi bagi dirinya jika anak Anda adalah pelakunya.
Jelaskan topik dengan bahasa yang sederhana agar anak Anda paham, dan jangan pula langsung memberikan “kuliah umum” dengan berbagai bahasan topik dalam satu waktu sekaligus.
gangguan akibat main hp terus

2. Buat aturan sosial media yang tegas

Teknologi dan sosial media tidak selamanya berdampak buruk, tergantung dari bagaimana cara kita menggunakannya. Maka, Anda juga harus lebih dulu belajar mengenai media sosial atau situs yang berpotensi jadi sarana penindasan. Cobalah untuk menggunakannya selama beberapa waktu untuk menguji seberapa aman situs tersebut bagi anak.
Anda juga bisa menyetel pengaturan khusus pada gadget anak yang aman dan sesuai untuk usianya. Biasanya, pada beberapa media sosial terdapat pengaturan khusus yang membuat akun media sosial secara otomatis tidak akan memunculkan komentar negatif, konten dewasa atau kekerasan.

 3. Batasi waktunya online

Orangtua juga harus membuat aturan yang tegas ketika anak menggunakan media sosial, misalnya dengan menetapkan durasi anak online. Sembilan puluh menit sampai dua jam adalah batas waktu yang ideal untuk anak ber-medsos ria dalam satu hari, dan telah disetujui oleh banyak pakar kesehatan dan psikolog dunia.
Sepakati juga seberapa sering anak boleh menggunakan laptop, handphone, atau gadget lainnya selama beraktivitas. Misalnya, anak hanya boleh menggunakan handphone di waktu istirahat sekolah, anak tidak boleh memainkan HP saat makan atau sampai tugas-tugas selesai dikerjakan, dan sebagainya.

4. Diskusikan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dibagikan secara online

Bantu anak untuk menentukan apa saja yang boleh dan tidak boleh dibagikan secara online di media sosialnya. Hal ini termasuk foto, video, maupun data pribadi seperti nama lengkap, deskripsi fisik, nomor telepon, sekolah, hingga alamat rumah.
Akan lebih baik jika Anda mengetahui semua teman online dan apa yang ia lakukan di dunia maya. Dengan mengikuti akun media sosialnya, Anda akan lebih mudah memantau kegiatan si kecil saat ia menggunakan media sosial.
Beritahu ia juga bahwa ia harus menolak permintaan pertemanan dengan orang asing atau akun-akun yang tidak jelas. Sebaiknya menerima pertemanan dari teman, keluarga, dan kerabat yang dikenalnya saja. Hal ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk teror maupun intaian orang-orang jahat.

5. Beritahu anak agar tidak menanggapi ancaman maupun komentar di sosial medianya

Beri tahu anak untuk jangan pernah takut melaporkan tindak cyberbullying yang ia terima di dunia maya. Cari tahu berapa lama kasus bullying sudah terjadi pada anak dan ajak dia untuk menemukan solusinya secara bersama-sama. Katakan padanya untuk tidak usah menanggapi berbagai ancaman dan komentar negatif tersebut.
Ajak anak Anda untuk mengumpulkan semua bukti tindak cyberbullying yang ia terima, screenshoot pesan yang mengandung ancaman, simpan bukti foto, termasuk juga catat alamat e-mail, usernema akun pelaku, atau foto profil di sosial medianya. Gunakan bukti-bukti ini untuk melaporkan tindak bullying tersebut langsung pada platform sosial media tersebut.
Biasanya pelaku cyberbullying sulit dilacak. Maka, laporkan kasus tersebut dan minta bantuan dari pihak sekolah atau kepolisian untuk menindak kasus tersebut.


Sumber:
https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/melindungi-anak-dari-cyberbullying-adalah/

Tips agar Anak sulit diatur menjadi penurut

Maret 13, 2018 0 Comments

Cara Tepat Mendidik Anak yang Sulit Diatur Agar Lebih Nurut Pada Orangtua

Oleh Data medis direview oleh dr. Tania Savitri.
“Jangan ujan-ujanan!”, “Jangan jajan sembarangan!”, “Ayo, kerjain dulu peernya sebelum bobo” — sudah berapa dari nasehat dan ajakan Anda yang masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri anak? Sudah berapa kali pula Anda bolak-balik menghukum si kecil karena tidak mau mendengar apa kata ayah ibunya, tapi ia tak juga jera?
Setiap orangtua memiliki gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya; ada yang bersikap agresif, pasif, lembut, tegas, dan lainnya. Namun tanpa disadari, metode interaksi orangtua dengan anak akan memengaruhi kemampuan dan kemauan anak untuk mendengarkan apa kata orangtua, yang tercermin dari cara anak berbicara kepada ayah-ibunya. Oleh karena itu, sebagai orangtua, Anda perlu berhati-hati dalam berkomunikasi dengan anak Anda. Karena jika tidak, hal tersebut justru membuat anak Anda semakin sulit untuk diatur.
Jika saat ini Anda sedang kehabisan cara untuk mengatasi anak yang sulit diatur, berikut adalah beberapa hal yang boleh dan tidak boleh Anda lakukan.

Hal yang boleh dilakukan untuk mengatasi anak yang sulit diatur

1. Tidak ada salahnya bilang “YA”

Seringkali Anda langsung mengatakan “tidak” saat anak Anda meminta sesuatu yang aneh-aneh sebagai tanda pelarangan mutlak, yang tidak bisa diganggu gugat. Secara tak sadar, ini dapat membuat anak semakin berontak melawan keinginan orangtua karena merasa dikekang.
Coba untuk menawarkan alternatif lain. Misalkan, jika anak Anda ingin corat-coret dinding, maka cari tahu dulu alasan kenapa mereka ingin corat-coret. Kemudian sarankan sebuah alternatif yang dapat diterima oleh mereka, misalkan menyediakan buku gambar, kanvas, dan lain-lain. Hal ini akan menunjukkan bahwa Anda mendengarkan keinginan mereka dan memperkuat kepercayaan mereka pada Anda dan menjadikan Anda sebagai “teman” daripada “lawan”.

2. Beri penjelasan

Anak yang sulit diatur kadang bukan berarti mereka ingin melawan apa kata orangtua. Mereka mungkin hanya tidak mengerti kenapa Anda melarangnya berbuat demikian. Misalnya, Anda ingin melarangnya untuk hujan-hujanan di lapangan. Daripada langsung dengan tegas menolah “Kamu nggak boleh ya, main ujan-ujanan!” dan mengunci pagar rumah, jelaskan padanya kalau ia main hujan-hujanan “nanti jadi masuk angin, padahal besok hari sekolah.” Dengarkan juga respon atau saran dari anak Anda. Hal ini akan membantu anak berpikir logis dan terbiasa mendengarkan Anda.

3. Jadilah orangtua, bukan teman

Memposisikan diri menjadi teman tidak salah, namun, dalam kondisi anak yang sedang sulit-sulitnya diatur Anda perlu berperan sebagai orangtua, bukan sebagai teman. Hal ini dilakukan untuk mengajarkan mereka tentang kedisiplinan, serta menetapkan batasan yang bisa menanamkan kepercayaan diri saat mereka belajar menjalani kehidupan.

Cara yang salah untuk mendisiplinkan anak yang sulit diatur

1. Menghukum

Menghukum seringkali dijadikan alasan untuk mendisiplinkan anak yang sulit diatur. Padahal, disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda. Disiplin merupakan sarana bagi orangtua untuk terlibat secara aktif terlibat dalam hidup anak guna membantu membentuk karakter moral dan kepribadian mereka. Sedangkan hukuman adalah tindakan yang berfungsi sebagai balas dendam.
Jadi, mengajarkan anak untuk disiplin tidak selalu harus dengan memberikan hukuman kepada mereka. Cari tahu alasan di balik perilaku mereka, dan ambil tindakan yang sesuai untuk memperbaiki keadaan emosi mereka. Lagipula, menghukum anak saat mereka sedang sulit-sulitnya diatur malah semakin membuat mereka merasa tidak nyaman dan memberontak.

2. Jangan berbohong

Meskipun terlihat sepele, namun, kebohongan kecil seperti, “mainannya nggak dijual”, “iya besok ya perginya”, dan bohong putih lainnya, bisa berdampak pada sikap anak yang tidak mau mendengar perkataan Anda. Lagipula, anak-anak Anda tidak sepolos yang Anda bayangkan. Mereka tentu tahu ketika Anda sedang berbohong dan mengingkari janji.
Bagi seorang anak, melanggar ‘janji’ bisa mengikis kepercayaan dan akhirnya mereka akan berhenti mendengarkan apa yang Anda katakan.

3. Jangan memaksakan kehendak

Jika Anda ingin anak Anda mendengarkan Anda, maka Anda harus terlebih dahulu mulai mendengarkan mereka. Jangan menempatkan mereka dalam situasi yang tidak dapat mereka tangani hanya karena Anda merasa mereka ‘seharusnya’ melakukan hal tersebut. Hal tersebut membuat anak Anda tidak nyaman dan merasa keinginannya tidak didengar oleh orangtuanya.

4. Jangan menakut-nakuti

Larangan yang diberikan seringkali dalam bentuk “Jangan makan permen, nanti giginya bolong” atau “Jangan main maghrib-maghrib, nanti diculik kuntilanak!” dan larangan lainnya. Padahal, menakut-nakuti anak karena ‘teror’ yang Anda buat sendiri bisa membuat anak kehilangan sumber informasi yang mereka percayai, sehingga membuat mereka tidak mau mendengarkan ucapan Anda lagi.

Sumber:
https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/mendidik-anak-yang-sulit-diatur/

Positif Parenting

Maret 13, 2018 0 Comments

Apa Itu Pengasuhan Positif, dan Kenapa Penting Dilakukan Oleh Orangtua?

Oleh Data medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.
Saat ini bisa dikatakan pola pengasuhan positif alias positive parenting sudah mulai mengambil alih, sejak metode ini terbukti lebih baik dan lebih efektif untuk mendidik anak. Memang seperti apa pola asuh positif itu? Simak ulasannya.

Memukul anak terbukti hanya membawa efek buruk

Generasi orang tua Anda pasti lebih banyak memberikan hukuman yang cenderung Anda takuti, seperti memarahi dengan membentak untuk menunjukkan bahwa orang tua marah. Atau memukul bagian tertentu seperti bokong, area tubuh yang dianggap paling aman untuk dipukul.
Jika Anda masih mengingatnya, pasti ada perasaan takut kepada orang tua. Iya, perasaan takut. Bukan hormat. Jadi, mana yang Anda pilih: ditakuti anak atau dihormati anak?
Kalau dulu metode parenting yang diketahui oleh orangtua kita masih sangat terbatas, di masa sekarang sudah banyak sekali tren parenting atau pengasuhan yang bisa Anda gunakan untuk mengasuh si kecil. Dan salah satunya adalah metode pengasuhan positif.

Apa itu pengasuhan positif?

Positive parenting atau pengasuhan positif adalah pola asuh yang dilakukan secara suportif, konstruktif, dan menyenangkan. Suportif artinya memberi perlakuan yang mendukung perkembangan anak, konstruktif artinya bersikap positif dengan menghindari kekerasan atau hukuman, serta dilakukan dengan cara yang menyenangkan.
Anda tidak mengajarkan anak disiplin dengan memberinya hukuman, tapi Anda mengajarkan disiplin dengan cara memberitahunya mana perilaku yang salah dan mana yang benar.

Bagaimana cara melakukan pengasuhan positif?

Pengasuhan anak adalah metode parenting yang menekankan pada sikap positif dan menerapkan disiplin dengan kasih sayang. Prinsip dasar metode ini adalah bagaimana Anda menghargai anak Anda. Intinya, membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.
Mungkin awalnya Anda ragu apakah konsep ini efektif untuk mendisiplinkan anak, tapi hal ini lebih baik dibandingkan dengan konsep memberi hukuman agar anak menuruti orangtua.
Lebih jelasnya, coba Anda ingat-ingat. Waktu kecil, pasti Anda tidak suka jika orangtua Anda membentak, menghardik, mempermalukan Anda di depan teman-teman, atau mengunci Anda di kamar karena melakukan kesalahan.
Begitu juga dengan anak, mereka tidak mau diperlakukan seperti itu. Sebagai perbandingan di tempat kerja, jika Anda memiliki atasan yang terbuka, selalu memberi dukungan pada ide-ide Anda, menstimulasi Anda untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi, Anda pasti lebih suka, bukan?
Begitu pula dengan anak. Bagi anak, orangtua adalah atasan di rumah, figur yang harus dia turuti. Namun seperti halnya karyawan, anak akan berkembang menjadi pribadi yang positif jika orangtuanya juga selalu memberinya contoh sikap-sikap yang positif.
Contoh sederhana, saat anak Anda memecahkan kaca jendela, alih-alih menghukumnya (sebagai sikap negatif), lebih baik membantunya mencari solusi bagaimana memperbaiki jendela yang pecah.
Bisa dimulai dengan membersihkan pecahan kaca, mengingatkannya untuk meminta maaf, menutup sementara jendela yang pecah, dan mengajaknya patungan dari uang tabungan (jika ada) untuk membayar biaya penggantian kaca.

Apa manfaat pengasuhan positif bagi orangtua dan anak?

Pendekatan dengan cara yang positif, seperti berbicara dengan lembut, membiasakan diri bertukar cerita, menyediakan waktu sendiri bersama anak, akan mendorong anak untuk mengubah sikapnya.
Anak juga belajar mengendalikan emosi, bersikap terbuka, dan ini bisa menjadi salah satu cara dari sekian banyak cara untuk meningkatkan rasa percaya diri si kecil karena dia tidak pernah merasa dipermalukan.
Bagi orangtua, pola asuh yang positif juga lebih menenangkan dan melegakan. Anda bisa merasa lebih rileks dan tenang dengan pola asuh ini. Kalau si kecil tidak mau mendengarkan, alih-alih berteriak agar dia memperhatikan Anda, ada baiknya Anda mendekat, berbicara lebih jelas, dengan menambahkan opsi “jika tidak dilakukan” dan “jika dilakukan”. Anda tidak perlu lagi merasa bersalah akibat harus tarik otot dengan si kecil.

Sumber:
https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/pengasuhan-positif-parenting/